Chemistry for better life ....

Saturday 7 May 2011

Biokimia 'Jatuh Cinta'

Berbicara tentang cinta maka setiap orang pasti akan menganggukkan kepala dan kemudian menggeleng. Anggukan kepala pertama adalah isyarat yang diberikan untuk menyatakan “Oh ya, aku pernah mengalaminya”. Setelah itu, ia akan menggeleng karena walaupun sudah berkali-kali jatuh cinta, ia masih tidak mengerti gejala-gejalanya. Yup, memang benar, seperti sebuah lirik sebuah lagu ‘jatuh cinta berjuta rasanya’. Gejala jatuh cinta memang sangat luas berbeda-beda setiap orang, bahkan dapat saja bervariasi pada seseorang dalam kesempatan yang berlainan. Di satu sisi, seseorang yang jatuh cinta dapat menjadi lebih percaya diri, lebih kuat atau lebih berani. Namun, di sisi lain, cinta dapat membuat seorang atlet angkat besi menjadi lemas dan tak mampu bahkan mengangkat badannya sendiri, atau membuat seorang pembicara profesional dapat tiba-tiba kelu lidahnya dan tidak mampu menghasilkan kata apapun. Seorang ahli biokimia molekuler mungkin tidak lagi melihat urutan basa nitrogen penyusun DNA sebagai A, T, G, dan C, tapi menjadi urutan C, I, N, T, dan A yang berulang-ulang dalam tiap intron dan ekson. Begitulah memang cinta, membuat banyak hal menjadi irasional.

Lalu, pertanyaan-pertanyaan mulai muncul. Apakah ada penjelasan rasional dari cinta? Mengapa seseorang bisa jatuh cinta? Biokimia mencoba menjawab sebagian dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Secara biokimia, rasa cinta berhubungan dengan suatu hormon yaitu norephinephrin. Norephinefrin merupakan salah satu senyawa turunan feniletilamin (Gambar 1). Norephinefrin dihasilkan oleh medula adrenal, yaitu merupakan perpanjangan dari sistem saraf parasimpatik yang terdapat di otak. Norephinefrin dibentuk melalui tiga tahap dari prekursornya berupa asam amino tirosin. Tahap pertama yaitu hidroksilasi tirosin membentuk dopa. Tahap kedua yaitu dekarboksilasi dopa membentuk dopamin. Tahap ketiga yaitu hidroksilasi rantai samping dopamin menghasilkan norephinefrin (Gambar 1).


Gambar 1: Struktur dan Biosintesis Norepinefrin

Norepinefrin bekerja dengan cara terikat pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel-sel hati. Pengikatan antara norepinefrin dan reseptor tersebut memicu terbentuk cAMP sebagai second messenger di dalam sel. Banyak hal yang dipengaruhi oleh cAMP tersebut. Salah satu diantaranya adalah memicu terjadinya reaksi kaskade yang pada akhirnya mengaktifkan protein kinase A (PKA). Protein kinase A tersebut akan secara langsung ataupun tidak akan memfosforilasi berbagai protein salah satunya ezim glikogen fosforilase. Enzim ini menyebabkan glikogen terfosforilasi dan aktif untuk dihidrolisis menghasilkan glukosa-1-fosfat. Glukosa-1-fosfat dapat diubah oleh sel-sel lain melalui glikolisis untuk menghasilkan energi dalam bentuk ATP (Gambar 2). Mungkin hal ini lah yang menyebabkan orang-orang yang jatuh cinta memiliki energi yang lebih banyak dibandingkan orang yang tidak jatuh cinta.

Gambar 2: Pengaruh Epinefrin terhadap Metabolisme Glikogen

Norepinefrin dan hormon turunannya seperti epinefrin juga diketahui dapat memicu kontraksi jaringan otot, baik itu otot rangka, atau otot jantung melalui mekanisme serupa. Hal ini mungkin sedikit menjelaskan mengapa pada beberapa orang yang jatuh cinta tiba-tiba jantungnya berdetak kencang, dan lidahnya menjadi kelu saat berbicara.

Dalam beberapa penelitian lebih lanjut, pemberian norepinefrin pada beberapa penderita depresi dalam dosis tertentu dapat menyebabkan 60% penderita dapat terlepas dari depresi. Penderita juga mengalami perbaikan dalam hal energi, konsentrasi dan mood. Orang yang jatuh cinta secara alami akan meningkatkan produksi norepinefrin di dalam tubuh. Norepinefrin ini akan dapat bertindak sebagai neurotransmitter yang memberikan efek serupa dengan narkotika. Norepinefrin menyampaikan pesan bahagia di otak. Hal ini menyebabkan terbentuknya senyum di wajah orang-orang yang sedang jatuh cinta.

R.A. Kurniawan, 8 Mei 2011
#Dikutip dari berbagai sumber#
#Membutuhkan masih banyak penyempurnaan....#


Selanjutnya......

Tuesday 1 February 2011

Ikan Zebra Transgenik sebagai Biosensor Pencemaran Logam Berat di Perairan

Rekayasa genetika dapat dilakukan pada ikan zebra sehingga ikan zebra transgenik yang dihasilkan dapat digunakan sebagai biosensor pencemaran logam berat di perairan. Prinsip rekayasa genetik yang dilakukan sederhana, yaitu fusi gen GFP dengan regulator ekspresi pada suatu vektor pembawa. Vektor pembawa ditransfeksikan pada ikan zebra. Adanya regulator ekspresi tersebut menyebabkan ekspresi GFP hanya dapat terjadi apabila ada logam berat yang terdapat di perairan.

Respon elemen merupakan bagian dari suatu gen yang berfungsi sebagai regulator pada ekspresi gen. Adanya suatu respon elemen ini menyebabkan ekspresi gen tertentu pada sel baru dapat berlangsung apabila terdapat sinyal tertentu pada sel (Atwood et al., 2006). Suatu respon elemen biasanya terdapat upstream pada suatu gen, respon elemen tersebut memiliki urutan basa nitrogen yang khas. Respon elemen pada suatu gen merupakan tempat terikatnya senyawa tertentu yang merupakan respon tubuh terhadap perubahan lingkungan. Sebagai contoh, pada sel manusia yang mengalami inflamasi, akan menginduksi produksi hormon glukokortikoid di kelenjar korteks adrenal. Hormon glukokortikoid akan diangkut menuju sel yang mengalami inflamasi, dalam sel tersebut hormon glukokortikoid akan berikatan dengan suatu reseptor tertentu. Pengikatan hormon glukokortikoid dengan reseptor mengaktifkan reseptor tersebut. Reseptor yang aktif mengalami translokasi ke dalam inti sel dan dapat berikatan dengan glucocorticoid respon elemen yang mengontrol kerja gen antiinflamasi. Terikatnya reseptor glukokortikoid dan respon elemen glukokortikoid menyebabkan ekspresi protein antiinflamasi (Lowwenberg dan Homes, 2004).

Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa jenis respon elemen yang terdapat pada gen-gen tertentu telah diketahui. Respon elemen tersbut tidak hanya dapat meneybabkan aktivasi ekspresi gen tertentu, tetapi juga dapat bersifat modulasi negatif. Senyawa stimulus juga tidak hanya senyawa endogenous seperti glukokortikoid tetapi juga dapat berupa senyawa-senyawa yang berasal dari luar. Senyawa dari luar tersebut akan mengaktifkan tranduksi sinyal yang berakibat pada terikatnya senyawa tertentu pada respon elemen suatu gen. Ada beberapa respon elemen yang dapat digunakan terkait pemanfaatan ikan zebra sebagai biosensor pencemaran lingkungan (Carvan et al., 2000).


1. Respon elemen hidrokarbon aromatik (AHRE)

Ligan untuk reseptor hidrokarbon aromatik (AHR) mengaktifkan AHRE sehingga menyebabkan berbagai efek biologis meliputi: imunosupresi, teratogenesis, promosi tumor, kesalahan endokrin, dan penyakit cardiovaskular. Senyawa-senyawa hidrokarbon polisiklik yang terhalogenasi dan tidak terhalogenasi seperti bifenil poliklorinasi, TCDD, benzo--pirene merupakan senyawa yang dapat mengaktivasi AHRE. Pada ikan cunner nonmigran (Tautogolabrus adspersus), kontaminasi minyak bumi dapat menyebabkan gen CYP1A1 terekspresi melalui aktivasi AHRE.

2. Respon elemen elektrofilik (EPRE)

Respen elemen elektrofilik juga disebut sebagai respon elemen antioxidant (ARE). EPRE dapat aktif apabila terjadi kondisi stress oksidatif atau terdapat senyawa-senyawa elektrofil. EPRE menyebabkan ekspresi gen-gen terinduksi stress. Senyawa penginduksi EPRE diantaranya adalah hidrogen peroksida, fenol, quinon, atau metabolit fase I seperti benzo[a]piren teroksigenasi dan -naftoflavon. EPRE ditemukan pada upstream gen metabolisme xenobiotik fase 2.

3. Respon elemen logam (MRE)

MRE pertama kali ditemukan pada upstream gen metallothionein (Mt1, Mt2) tikus.Kation logam berat yang dapat menginduksi MRE diantaranya kadmium, seng, merkuri, kobalt dan nikel. Induksi gen tertentu melalui MRE telah dilakukan pada setiap sistem organ.

4. Respon elemen estrogen (ERE)

Reseptor estrogen (ER-, -) mengikat sejumlah senyawa estrogenik dan membentuk kompleks transkripsi dengan ERE dalam bentuk homodimer. Senyawa-senyawa endokrin yang berasal dari lingkungan dan makanan terikat pada ER-,- mengganggu tranduksi sinyal dalam sel dan menyebabkan terbenmtuknya sel-sel kanker. Berapa senyawa menyebabkan induksi ERE meliputi dietilstilbestrol, tamoxifen, fitoestrogen, plastisizer ftalat, insektisida, 4-nonylfenol, bis-fenol-A dan kepon.

5. Respon elemen asam retinoat dan retinoat X (RARE dan RXRE)

Reseptor asam retinoat (RAR) dan reseptor retinoat X terikat kuat dengan asam 9-cis retinoat. Beberapa analog telah digunakan sebagai senyawa-senyawa terapi dan kemopreventif dan terikat pada RAR atau RXR.

Attwood, T.K., P.N. Campbell, J.H. Parish, A.D. Smith, J.L. Stirling dan F. Vella (Ed), 2006, Oxford Dictionary of Biochemistry and Molecular Biology, Revised Edition, Oxford University Press.

Carvan, M.J., T.P. Dalton, G.W. Stuart,., dan D.W. Nebert, 2000, Transgenic Zebrafish as Sentinels for Aquatic Pollution, Ann.N.Y.Acad.Sci., 919: 133-137.

Löwenberg, M. dan D.W. Hommes, 2004, Glucocorticoid action and molecular mechanisms of steroid resistance, BTi September 2004

Selanjutnya......

Protein Fluorescent Hijau (GFP)

Protein fluoresen hijau (GFP) pertama kali ditemukan sebagai pengotor aequorin, suatu protein kemiluminesen dari ikan jelly Aequorea jellyfish oleh kelompok peneliti Shimomura di Jepang. Shimomura mendeskripsikan GFP sebagai protein yang terlihat kehijauan pada cahaya matahari, kekuningan pada cahaya lampu tungsten, dan warna kuning terang pada cahaya UV.

GFP merupakan protein yang tersusun atas 238 asam amino, yang tersusun dalam bentuk helik mirip keranjang, dengan 3 asam amino yang tersusun secara melingkar menyebabkan adanya fluororesensi. Struktur primer dari GFP ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1: Struktur Primer dari GFP

Kromofor pada GFP berupa p-hidroksibenzilidenimidazolinon yang dibentuk oleh residu 65, 66, dan 67, yaitu residu serin, tirosin, dan glisin. Pembentukan kromofor tersebut melalui beberapa tahap. Tahap pertama berupa pelipatan rantai peptida sehingga membentuk konformasi paling stabil dari GFP. Kedua, pembentukan imidazolinon melalui serangan nukleofilik gugus amida residu Gly67 pada gugus karbonil residu ke-65. Ketiga, dehidrasi. Keempat, molekul oksigen mendehidrogenasi ikatan a-b pada residu ke-66 sehingga menyebabkan konjugasi gugus aromatiknya pada imidazolinon. Reaksi tersebut melepaskan produk samping berupa hidrogen peroksida (Gambar 2).
Gambar 2: Pembentukan Kromofor pada GFP

Struktur sekunder dan tersier dari GFP menunjukkan bahwa protein tersebut membentuk 11 pita yang menyusun suatu b-barrel. Pada bagian tengah struktur b-barrel tersebut, terdapat suatu a-heliks. Sebagian besar residu asam amino digunakan untuk membentuk b-barrel dan bagian ujung a-heliks tersebut, sedangkan kromofor terdapat pada bagian tengah a-heliks (Gambar 2.3). Struktur kuartener dari GFP menunjukkan bahwa protein ini membentuk homodimer. Dimerisasi terjadi melalui interaksi hidrofobik dan interaksi hidrofilik. Interaksi hidrofobik meliputi residu Ala206, Leu221, and Phe223. Interaksi hidrofilik melibatkan Tyr39, Glu142, Asn 144, Ser147, Asn149, Tyr151, Arg168, Asn170, Glu172, Tyr200, Ser202, Gln204, dan Ser208.
Gambar 3: Struktur Sekunder dan Tersier GFP

GFP menyerap panjang gelombang maksumum 384 nm pada kondisi asam atau netral, sedangkan pada pH di atas 8,1 panjang gelombang maksimum mengalami pergeseran merah menjadi 448 nm. GFP yang terdenaturasi atau fragment polipeptida yang mengandung kromofor tidak dapat berfluoresensi, karena kromofor tidak terlindungi dari quenching oleh kontak dengan air, oksigen, atau terjadi isomerasi (Tsien, 1998).

GFP protein secara alami dihasilkan oleh coelenterata, yaitu dari famili hydrozoa, seperti Aequeorea, Obelia, dan Phialidium serta famili anthozoa, seperti Renilia. Beberapa spesies lain juga menghasilkan protein yang mengalami fluoresensi, tetapi kromofor pada protein tersebut berupa kofaktor eksternal. Sebagai contoh, phycobiliprotein dan peridin-chlorofil-a yang berfluoresensi menggunakan kofaktor berupa tetrapirol. Insersi kofaktor secara tepat pada apoprotein tidak dapat dilakukan pada organisme asing, sehingga protein fluoresensi tersebut tidak dapat digunakan dalam rekayasa genetik.

Tsien, R.T., 1998, The Green Fluorescent Protein, Annu. Rev. Biochem., 67:509–44.

Selanjutnya......

Sunday 30 January 2011

Detektor Daly (Scintillation Counter 3)

Perkembangan selanjutnya scintillation counter adalah pada tahun 1960. Pada tahun tersebut N.R. Daly berhasil merancang scintillation counter yang dapat mengatasi kelemahan pada detektor Richard dan Hay. Scintillation counter yang dihasilkan digunakan secara luas pada saat tersebut karena detektor tersebut memiliki sensitifitas yang tinggi. Oleh karena itu istilah scintillation counter juga dapat disebut sebagai detektor Daly.

Detektor Daly bekerja dengan cara berbeda dengan detektor Richard dan Hays. Kation yang memasuki detektor akan dipercepat dengan adanya suatu beda potensial 40 keV. Kation tersebut akan menumbuk suatu dynode, yang disebut sebagai dynode konversi. Dynode konversi merupakan suatu plat logam yang dapat melepaskan elektron-elektron sekunder apabila ditumbuk dengan kation. Elektron sekunder dilepaskan dan dipercepat menuju dynode kedua akibat beda potensial. Dynode kedua tersusun atas scintilator plastik yang apabila tertumbuk dengan elektron akan menghasilkan berkas sinar. Berkas sinar yang dihasilkan dideteksi oleh fotomultiplier (Daly, 1960).
Gambar 1: Skema Detektor Daly

Detektor Daly memiliki bentuk T dan dibuat dari baja stainless steel dengan semua bagian logam penyusunnya yang dibuat mengkilap. Bagian utama detektor berupa suatu ruang vakum, terletak di bagian tengah detektor. Kondisi vakum dibuat dengan menghubungkan ruang utama tersebut dengan suatu pompa vakum dan dengan menambahkan kalium hidrosida untuk menghilangkan air. Dynode konversi dan scintillator tersusun pada ruang vakum tersebut. Salah satu sisi dari ruang vakum tersebut terhubung dengan selubung Kovar. Selubung Kovar terbentuk dari perpaduan gelas dan logam dan dialiri oleh suatu beda potensial 40 kV. Bagian ujung dari selubung Kovar dilekatkan dengan suatu batang baja stailess yang memiliki diameter 1 cm. Detektor Daly ditutup dengan selubung logam untuk mencegah masuknya cahaya (Gambar 1) (Daly, 1960).
Detektor Daly tersusun atas tiga komponen utama, yaitu: dynode konversi, scintillator dan fotomultiplier.

Dynode konversi merupakan suatu elektrode yang dilapisi oleh suatu plat logam. Logam yang digunakan adalah logam yang dapat melepaskan sejumlah elektron sekunder apabila ditumbuk dengan kation. Logam yang digunakan adalah plat alumunium. Logam alumunium memiliki energi ionisasi 50keV yang rendah sehingga mampu melepaskan elektron dengan jumlah terbanyak untuk setiap tumbukan oleh kation dibandingkan dengan logam-logam lainnya. Penggunaan permukaan logam yang telah dikilapkan dapat meningkatkan jumlah elektron yang dihasilkan dan mereduksi kemungkinan terjadinya emisi medan. Oleh karena itu, pada detektor Daly digunakan plat alumunium tipis yang diletakkan pada suatu baja yang datar, licin dan mengkilap.

Scintillator yang digunakan adalah jenis scintillator plastik senyawa fosfor organik NE-102. Scintillator yang digunakan berbentuk lingkaran dengan diameter 4 cm dan tebal 0,3 cm. Scintillator tipe ini memiliki waktu decay yang decay yang pendek yaitu 5x10-9 detik dan efisiensi 65% dibandingkan antrasen. Salah satu sisi scintillator yang berhadapan dengan dynode konversi dilapisi dengan lapisan konduktif. Lapisan tipis tersebut tersusun atas lapisan tipis alumunium. Elektron yang memiliki energi sebesar 40 keV akan kehilangan 1 keV pada saat menembus lapisan tipis tersebut. Lapisan tipis tersebut akan mengarahkan elektron sekunder yang dihasilkan oleh dynode konversi menuju ke permukaan scintillator. Lapisan tipis tersebut juga meningkatkan efisiensi koleksi cahaya dari scintillator. Apabila tidak digunakan scintillator akan diletakkan pada suatu cekungan dengan jarak 0,25 cm di belakang lubang 1,2 cm pada piringan baja stainless serta selubung vakum yang dibentuk melalui penggunaan cincin O.

Fotomultiplier yang digunakan adalah fotomultiplier EMI 6097. Fotomultiplier dilengkapi dengan suatu fotokatoda untuk mengurangi gelap akibat adanya aliran listrik melalui konduktor. Fotomultiplier diletakkan pada sisi satunya lagi dari fosfor. Antarmuka fosfor dan fotomultiplier dilapisi oleh lapisan tipis minyak silikon untuk menghasilkan kontak optik yang baik.

Selain ketiga komponen utama tersebut, detektor juga dilengkapi dengan dua buah celah yang digunakan berkas kation untuk masuk ke dalam detektor. Celah pertama terletak pada bagian yang memfokuskan berkas ion. Celah kedua berukuran lebih lebar terletak pada pintu masuk berkas kation menuju detektor. Celah kedua tersebut terdapat pada suatu plat baja yang menjaga simetri medan dalam detektor dan mencegah berkas kation tertolak terlalu cepat akibat medan yang terdapat dalam detektor. Pada bagian ujung plat tersebut juga terdapat dua buah lubang, masing-masing untuk memompa udara yang ada di detektor keluar.

Posisi dari elektrode baja tempat melekatnya dynode konversi dapat diatur dengan menggerakkannya maju mundur di sepanjang batang penunjang. Posisinya dapat diatur agar berkas elektron sekunder yang dihasilkan dapat tepat mengenai bagian tengah dari fosfor. Posisi yang tepat dapat ditentukan dengan mengamati visualisasi dari gambar elektron di fosfor. Apabila visualisasi tersebut tepat berada di tengah plat fosfor berarti elektrode telah berada pada posisi yang tepat. Perlakuan ini dapat dilakukan dengan mudah menggunakan peralatan terpisah sehingga berkas kation yang menuju detektor memiliki energi yang bervariasi hingga 15 keV.

Posisi dari elektrode tersebut diukur menggunakan persamaan berikut:
V1 merupakan potensial spektrometer sedangkan V2 adalah potensial plat defleksi ion. K adalah konstanta. Arti dari simbol-simbol ditunjukkan melalui Gambar 2 (Daly, 1960).
Gambar 2: Geometri Detektor Daly
Scintillation counter merupakan detektor yang dapat digunakan untuk mendeteksi ion-ion dengan berat molekul tinggi. Daly (1960) menguji detektor tersebut untuk menguji logam Thalium. Logam thalium tersebut diuji dengan menggunakan spektrometer massa dengan metode ionisasi electron impact dan pemisahan ion menggunakan magnetic sector analyzer. Pemisahan tersebut menghasilkan dua puncak, yaitu pada rasio M/Z 203 dan 205. Puncak 203 menunjukkan adanya 1300 ion/detik, sedangkan puncak 205 menunjukkan 3100 ion/detik (Gambar 3).
Gambar 3: Spektra Massa Thalium dengan Detektor Daly

Analisis lebih lanjut terhadap kurva tersebut dilakukan dengan mengamati tinggi pulsa dari puncak Th-205 (Gambar 4). Berdasarkan kurva tersebut dapat diamati bahwa dark crrent untuk fotomultiplier berada pada 5v., dan distribusi pulsa maksimum untuk ion thalium ada pada 40v. Diskriminator amplifier dapat diatur 10 v sehingga diperoleh suatu metode deteksi yang efisien. Berdasarkan kurva tersebut dibandingkan pula dengan detektor elektron multiplier. Diperoleh kesimpulan bahwa detektor elektromultiplier tersebut memiliki kurva yang lebih rendah daripada menggunakan fotomultiplier yang merupakan rangkaian dari Daly detektor (Daly, 1960).
Gambar 4: Analisis Tinggi Pulsa Puncak Th-205

Detektor Daly merupakan detektor yang sangat sensitif. Hal ini disebabkan suatu ion mengalami amplifikasi berkali-kali. Pengukuran yang dilakukan terhadap ion N2+ dan N+ menunjukkan bahwa ion tersebut melepaskan sekitar 7 dan 5 elektron, secara berurutan. Senyawa hidrokarbon yang memiliki massa 200 atau lebih besar akan melepaskan kira-kira 20 elektron sekunder. Ion thalium yang diujikan melepaskan 5 elektron pada permukaan alumunium dan setiap elektron menghasilkan energi sebesar 40 keV. Total 200 keV dienergi ditumbukkan pada senyawa fosfor organik. Energi ini setara untuk menghasilkan 90 fotoelektron yang dilepaskan menuju fotomultiplier. Gambaran ini menunjukkan bahwa photomultiplier dapat dijalankan pada tingkat noise yang rendah. Penggunaan fotomultiplier yang rendah tersebut mengakibatkan noise yang ditimbulkan sebesar 4x10-20 A menjadi kurang berarti debandingkan sinyal sebesar 10-18A. Ion-ion ini mudah dideteksi dengan spektra massa tanpa adanya noise yang mengganggu (Daly, 1960). Sensitivitas detektor Daly yang tinggi juga dapat diaplikasikan pada ion-ion metastabil. Ion-ion metastabil adalah ion-ion yang dibentuk oleh eksitasi yang tidak mengakibatkan ion tersebut mengalami disosiasi secara spontan selama perjalanannya dari sumber ion menuju detektor (Herbert dan Jhonston, 2002).

Selanjutnya......

Detektor Richard dan Hay (Scintillation Counter 2)

Penggunaan scintillation counter pertama kali sebagai detektor dalam spektometri massa adalah oleh oleh Richard dan Hay pada tahun 1950. Detektor yang digunakan bekerja dengan mempercepat pergerakan ion positif menuju scintillator akibat adanya beda potensial. Tumbukan antara kation dan scintilator tersebut menyebabkan scintilator mengalami fluoresensi. Scintilator melepaskan sejumlah energi dalam bentuk berkas sinar (foton). Berkas sinar tersebut dilewatkan melalui suatu pipa menuju fotomultiplier. Fotomultiplier tersebut mengubah berkas sinar yang dihasilkan menjadi suatu sinyal listrik yang dapat diukur.

Penggunaan detektor Richard dan Hay tersebut kurang meluas karena terdapat beberapa kelemahan mendasar. Kelemahan dari detektor Richard dan Hay adalah berkas sinar yang dihasilkan dari tumbukan kation dengan berat molekul yang berat dengan fosfor menghasilkan berkas sinar yang relatif lemah. Oleh karena itu, penggunaan detektor Richard dan Hay terbatas pada deteksi ion dengan berat molekul kecil. Selain itu, tumbukan anatara kation dan fosfor merusak pelat fosfor yang digunakan sehingga berkas sinar yang dihasilkan semakin melemah setelah digunakan berkali-kali. Kelemahan lain dari detektor Richard dan Hay adalah efisiensi pengumpulan berkas sinar yang rendah. Hal ini terjadi karena berkas sinar yang dihasilkan oleh pelat fosfor melalui tabung yang panjang sebelum mencapai fotomultiplier. Sebagian sinar menumbuk dinding tabung sehingga hanya sebagian sinar yang sampai ke fotomultiplier.

Selanjutnya......

Kampoenk lain