Selama ini, Bahan Bakar Minyak (BBM) diperoleh dari hasil pengolahan minyak bumi. Berdasarkan teori Biogenesis, minyak bumi terbentuk karena adanya kebocoran kecil yang permanen dalam siklus karbon. Seharusnya, senyawa-senyawa yang mengandung karbon akan kembali ke atmosfer melalui respirasi makhluk hidup. Akan tetapi, karena adanya proses yang belangsung selama jutaan tahun,
sekitar 0,1% dari senyawa karbon tersebut mengalami transformasi sehingga akhirnya menjadi fosil yang dapat terbakar, yaitu minyak bumi.
Minyak bumi yang terbentuk melalui proses panjang tersebut kemudian dieksplorasi oleh manusia. Minyak mentah hasil eksplorasi disuling sehingga diperoleh beberapa fraksi. Fraksi-fraksi tersebut ada dalam fase gas, fase cair maupun fase padat. Fraksi adalah fraksi yang paling melimpah dalam miyak bumi. Fraksi cair sendiri terdiri atas fraksi nafta, fraksi kerosin, dan fraksi solar. Fraksi cair ini lebih dikenal dengan istilah BBM. Karena BBM berasal dari minyak bumi, berarti BBM merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui.
BBM merupakan sumber energi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. BBM digunakan dalam berbagai aktivitas keseharian manusia. Aktivitas kehidupan masyarakat akan terhambat tanpa adanya BBM. Sebagian besar industri tidak dapat berproduksi karena mesin-mesin diesel yang digunakan kehabisan bahan bakar. Sektor transportasi juga akan lumpuh total. Sepeda motor, mobil atau kendaraan lain berbahan bakar minyak tidak akan ada lagi. Masyarakat terpaksa kembali ke masa lalu, menggunakan sepeda atau hewan sebagai alat transportasi. Begitu pula dengan penyediaan listrik. Penyediaan listrik ditopang dengan adanya BBM. Di Indonesia saja, 70% kebutuhan listriknya berasal dari pemanfaatan BBM. Tanpa adanya BBM jelas listrik tidak akan tersedia cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat.
Kebutuhan akan bahan bakar tersebut tidak pernah berkurang. Bahkan, seiring dengan berjalannya waktu, peningkatan jumlah penduduk dan munculnya berbagai industri mengakibatkan kebutuhan masyarakat terhadap BBM semakin bertambah. Sementara itu, eksploitasi terus-menerus terhadap sumber-sumber minyak akan mengakibatkan jumlah sumber-sumber minyak yang ada terus berkurang. Bukan tidak mungkin suatu saat sumber bahan bakar minyak yang ada akan habis.
Indonesia tidak perlu takut menghadapi krisis BBM yang akan terjadi. Secara hitung-hitungan, Indonesia bahkan dapat memperoleh keuntungan di tengah peliknya krisis tersebut. Mengapa demikian? Sebab, Indonesia kaya akan sumber-sumber alam yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif pengganti BBM yaitu Bahan Bakar Nabati (BBN).
BBN adalah istilah yang diberikan untuk berbagai bahan bakar yang berasal dari hasil pengolahan sumber-sumber nabati. Sumber nabati yang dimaksud merupakan produk metabolit primer maupun sekunder dari tumbuhan seperti minyak-minyak nabati. Tumbuhan sebagai produsen BBN dapat eksploitasi secara terus-menerus, sementara kontinuitasnya dapat tetap dipertahankan melalui budidaya pertanian yang tepat. BBN sebagai derivatif langsung dari produk pertanian tersebut secara otomatis memiliki sifat serupa dengan produk pertanian yaitu dapat diperbaharui. Artinya, BBN tidak akan pernah habis, bahkan produksinya dapat terus ditingkatkan dengan intensifikasi ataupun ekstensifikasi untuk mengimbangi konsumsi energi masyarakat yang terus bertambah. Oleh karena sifatnya itu, BBN berpotensi besar untuk mensubstitusi pemanfaatan BBM yang dapat habis sebagai bahan bakar.
Salah satu BBN yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah biodiesel. Biodiesel memiliki karakter fisik yang tidak jauh berbeda dengan solar sehingga dapat digunakan secara langsung pada mesin diesel konvensional tanpa penyesuaian mesin secara khusus. Selain itu juga, penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar memiliki berbagai kelebihan, diantaranya, bersifat biodegradable, tidak beracun, tidak mengandung logam berat, sulfur ataupun senyawa aromatik. Biodiesel juga memiliki titik nyala yang lebih tinggi dibanding solar, sehingga lebih aman dalam penanganan, pengangkutan dan penyimpanan.
Biodiesel merupakan produk derivat dari minyak nabati. Biodiesel dihasilkan dengan mereaksikan trigliserida asam lemak yang merupakan komponen utama penyusun minyak-minyak nabati dengan metanol dan adanya katalis basa. Reaksinya disebut reaksi transesterifikasi. Reaksi ini dapat dilakukan walau dengan teknologi yang sederhana. Reaksi dilakukan dengan mencampur minyak nabati dengan metanol yang telah ditambahkan katalis basa berupa soda api atau natrium karbonat. Reaksi dilakukan selama 1-2 jam dengan pada suhu 68°C.
Trigliserida yang dijadikan bahan baku dapat bersumber dari berbagai minyak nabati. Di Indonesia, setidaknya ada 40 jenis tumbuhan yang mengandung trigliserida sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi biodiesel. Misalnya saja, kelapa, kelapa sawit, jagung, jarak pagar atau kemandah. Diantara beberapa jenis tumbuhan tersebut, kelapa sawit dan jarak pagar memiliki potensi paling besar untuk dikembangkan di Indonesia.
Potensi sawit di Indonesia sangat menjanjikan sebab Indonesia adalah produsen minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah Malaysia. Pada tahun 2003 saja, produksi minyak sawit nasional sudah mencapai 9 juta ton pertahun (BPPT, 2006). Jumlah ini terus mengalami peningkatan setidaknya 15 % setiap tahun. Akhir tahun 2007 ini dapat diperkirakan jumlah produksi minyak sawit nasional akan mencapai 11,5 juta ton per tahun. Anggaplah dari produksi minyak sawit Indonesia tersebut, setengahnya digunakan untuk pembuatan biodiesel maka dalam satu tahun Indonesia dapat menghasilkan biodiesel dengan jumlah yang sama yaitu 5,75 juta ton atau setara dengan 6.765 juta liter (massa jenis biodiesel sekitar 0,85 kg/L). Angka tersebut baru memperhitungkan setengah dari produksi minyak sawit. Bagaimana jika tidak hanya setengah produksi minyak sawit tetapi ¾ nya atau bahkan seluruhnya dikonversikan menjadi biodiesel?
Perkiraan tersebut belum memperhitungkan produksi biodiesel dari tumbuhan lain misalnya jarak pagar. Kelebihan tumbuhan jarak pagar adalah kemampuannya untuk tumbuh pada lahan kritis. Kondisi ini sangat menguntungkan sebab Indonesia memiliki lahan kritis cukup luas yang tidak tergarap hingga saat ini. BPS (2004) melaporkan bahwa lahan kritis Indonesia sekitar 22.115.140 Ha yang 36 persennya ada di dalam kawasan hutan. Apabila seluruh lahan tandus tersebut ditanami jarak pagar, maka ekuivalen dengan 63 juta liter solar per hari atau 22.365 juta liter. Dengan potensi sebesar itu, Indonesia tidak hanya mampu mencukupi kebutuhan dalam negerinya tetapi juga dapat mengambil peran sebagai negara pengekspor BBN.
Ekspor BBN merupakan sebuah langkah strategis yang harus ditempuh oleh Indonesia. Secara ekonomi, keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan dengan yang selama ini diperoleh Indonesia dari mengekspor minyak sawit. Peran biodiesel sebagai kebutuhan yang vital menyebabkan nilai ekonominya berada pada tingkat yang lebih tinggi dibanding minyak sawit. Nilai ekonomi biodiesel akan setara dengan BBM terutama solar yang saat ini telah mencapai Rp. 5.600,00 dan akan terus naik seiring meningkatnya harga minyak dunia. Padahal biaya yang akan dikeluarkan dari proses produksi biodiesel lebih kecil dari nilai tersebut. Harga bahan baku dapat diasumsikan sama dengan harga minyak sawit yaitu sekitar Rp. 3.600,00 per liter. Jika menggunakan minyak jarak maka harganya akan lebih murah. Sementara proses produksinya jika dihitung berdasarkan kebutuhan bahan kimia, suplai energi, pemeliharaan mesin, pengembalian modal usaha maka tidak akan lebih dari Rp. 900,00 per liter. Itu artinya dalam setiap satu liter biodiesel yang diekspor ke luar negeri, ada keuntungan sebesar Rp. 1000,00 Apabila setengah dari potensi biodiesel yang ada sekitar 15.000 juta liter diekspor maka diperoleh keuntungan total sebesar 15 triliun rupiah. Setiap rupiah tersebut adalah sumber penerimaan APBN yang dapat dipergunakan sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat. Dapat dibayangkan berapa orang miskin di Indonesia yang dapat diberi modal usaha atau pembangunan yang dapat dicapai dengan dana sebesar itu.
Keuntungan ini tidak mustahil diperoleh Indonesia karena banyak negara sahabat yang dapat dijadikan pasar potensial untuk ekspor BBN Indonesia. Negara-negara di benua biru misalnya. Negara-negara tersebut tidak memiliki bahan baku sedemikian melimpah seperti Indonesia. Artinya, ketika kandungan minyak bumi semakin menipis dan akhirnya habis, negara-negara tersebut tidak punya banyak pilihan. Mau tidak mau, mereka harus mengimpor BBN. Indonesia dapat menawarkan kerja sama saling menguntungkan dalam bentuk ekspor-impor. Indonesia mengekspor BBN untuk mensuplai kebutuhan sumber energi mereka. Sedangkan mereka memberikan keuntungan finansial kepada Indonesia.
Tidak hanya meningkatkan penerimaan APBN secara langsung, ekspor BBN juga akan menggairahkan industri-industri di Indonesia khususnya di bidang perkebunan. Ekspor akan mendorong peningkatan industri biodiesel dalam negeri. Sektor perkebunan maupun indutri terkait dalam hal ini akan meresponnya dengan melakukan percepatan produksi. Salah satu kebijakan yang akan ditempuh adalah ekstensifikasi sumber daya produksi. Salah satunya adalah penambahan jumlah tenaga kerja. Ekspor BBN menjadi solusi bagi permasalahan ekonomi Indonesia yaitu secara tidak langsung membuka lapangan pekerjaan.
Implikasi yang dirasakan dari ekspor BBN tidak hanya sebatas pada sektor perekonomian. Menjadi eksportir BBN, terutama biodiesel juga dapat meningkatkan harga diri dan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara. Bagaimana tidak? Indonesia akan memegang peranan sebagai penyedia sumber energi dunia. Berhentinya pasokan BBN dari Indonesia akan berdampak pada krisis energi secara global. Karena pengaruh yang sangat kuat itu, kepentingan Indonesia akan akan selalu didengar oleh masyarakat internasional sehingga eksistensi Indonesia pun akan semakin diakui.
Semua faktor cenderung mendukung Indonesia untuk memanfaatkan BBN sebagai sumber energi alternatif dalam negeri dan mengekspornya ke luar negeri. Pemerintah sepertinya juga mulai sadar akan hal tersebut. Buktinya, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan tentang penyediaan dan pemanfaatan BBN. Sayangnya, itu saja belum cukup. Diperlukan usaha optimal agar BBN akrab bagi segenap lapisan masyarakat. Paradigma lama masyarakat yang memandang bahwa bahan bakar hanya dapat berasal dari peninggalan fosil jutaan tahun yang lalu harus segera diganti dengan optimisme tinggi bahwa masih ada peluang besar di masa depan, yaitu Indonesia sebagai pengekspor BBN terbesar di dunia. Apabila Indonesia secara cerdas berani memanfaatkan peluang ini, kelak Indonesia akan menjadi negara yang mantap, mandiri dan diakui eksistensinya. Amin.
sekitar 0,1% dari senyawa karbon tersebut mengalami transformasi sehingga akhirnya menjadi fosil yang dapat terbakar, yaitu minyak bumi.
Minyak bumi yang terbentuk melalui proses panjang tersebut kemudian dieksplorasi oleh manusia. Minyak mentah hasil eksplorasi disuling sehingga diperoleh beberapa fraksi. Fraksi-fraksi tersebut ada dalam fase gas, fase cair maupun fase padat. Fraksi adalah fraksi yang paling melimpah dalam miyak bumi. Fraksi cair sendiri terdiri atas fraksi nafta, fraksi kerosin, dan fraksi solar. Fraksi cair ini lebih dikenal dengan istilah BBM. Karena BBM berasal dari minyak bumi, berarti BBM merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui.
BBM merupakan sumber energi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. BBM digunakan dalam berbagai aktivitas keseharian manusia. Aktivitas kehidupan masyarakat akan terhambat tanpa adanya BBM. Sebagian besar industri tidak dapat berproduksi karena mesin-mesin diesel yang digunakan kehabisan bahan bakar. Sektor transportasi juga akan lumpuh total. Sepeda motor, mobil atau kendaraan lain berbahan bakar minyak tidak akan ada lagi. Masyarakat terpaksa kembali ke masa lalu, menggunakan sepeda atau hewan sebagai alat transportasi. Begitu pula dengan penyediaan listrik. Penyediaan listrik ditopang dengan adanya BBM. Di Indonesia saja, 70% kebutuhan listriknya berasal dari pemanfaatan BBM. Tanpa adanya BBM jelas listrik tidak akan tersedia cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat.
Kebutuhan akan bahan bakar tersebut tidak pernah berkurang. Bahkan, seiring dengan berjalannya waktu, peningkatan jumlah penduduk dan munculnya berbagai industri mengakibatkan kebutuhan masyarakat terhadap BBM semakin bertambah. Sementara itu, eksploitasi terus-menerus terhadap sumber-sumber minyak akan mengakibatkan jumlah sumber-sumber minyak yang ada terus berkurang. Bukan tidak mungkin suatu saat sumber bahan bakar minyak yang ada akan habis.
Indonesia tidak perlu takut menghadapi krisis BBM yang akan terjadi. Secara hitung-hitungan, Indonesia bahkan dapat memperoleh keuntungan di tengah peliknya krisis tersebut. Mengapa demikian? Sebab, Indonesia kaya akan sumber-sumber alam yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif pengganti BBM yaitu Bahan Bakar Nabati (BBN).
BBN adalah istilah yang diberikan untuk berbagai bahan bakar yang berasal dari hasil pengolahan sumber-sumber nabati. Sumber nabati yang dimaksud merupakan produk metabolit primer maupun sekunder dari tumbuhan seperti minyak-minyak nabati. Tumbuhan sebagai produsen BBN dapat eksploitasi secara terus-menerus, sementara kontinuitasnya dapat tetap dipertahankan melalui budidaya pertanian yang tepat. BBN sebagai derivatif langsung dari produk pertanian tersebut secara otomatis memiliki sifat serupa dengan produk pertanian yaitu dapat diperbaharui. Artinya, BBN tidak akan pernah habis, bahkan produksinya dapat terus ditingkatkan dengan intensifikasi ataupun ekstensifikasi untuk mengimbangi konsumsi energi masyarakat yang terus bertambah. Oleh karena sifatnya itu, BBN berpotensi besar untuk mensubstitusi pemanfaatan BBM yang dapat habis sebagai bahan bakar.
Salah satu BBN yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah biodiesel. Biodiesel memiliki karakter fisik yang tidak jauh berbeda dengan solar sehingga dapat digunakan secara langsung pada mesin diesel konvensional tanpa penyesuaian mesin secara khusus. Selain itu juga, penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar memiliki berbagai kelebihan, diantaranya, bersifat biodegradable, tidak beracun, tidak mengandung logam berat, sulfur ataupun senyawa aromatik. Biodiesel juga memiliki titik nyala yang lebih tinggi dibanding solar, sehingga lebih aman dalam penanganan, pengangkutan dan penyimpanan.
Biodiesel merupakan produk derivat dari minyak nabati. Biodiesel dihasilkan dengan mereaksikan trigliserida asam lemak yang merupakan komponen utama penyusun minyak-minyak nabati dengan metanol dan adanya katalis basa. Reaksinya disebut reaksi transesterifikasi. Reaksi ini dapat dilakukan walau dengan teknologi yang sederhana. Reaksi dilakukan dengan mencampur minyak nabati dengan metanol yang telah ditambahkan katalis basa berupa soda api atau natrium karbonat. Reaksi dilakukan selama 1-2 jam dengan pada suhu 68°C.
Trigliserida yang dijadikan bahan baku dapat bersumber dari berbagai minyak nabati. Di Indonesia, setidaknya ada 40 jenis tumbuhan yang mengandung trigliserida sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi biodiesel. Misalnya saja, kelapa, kelapa sawit, jagung, jarak pagar atau kemandah. Diantara beberapa jenis tumbuhan tersebut, kelapa sawit dan jarak pagar memiliki potensi paling besar untuk dikembangkan di Indonesia.
Potensi sawit di Indonesia sangat menjanjikan sebab Indonesia adalah produsen minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah Malaysia. Pada tahun 2003 saja, produksi minyak sawit nasional sudah mencapai 9 juta ton pertahun (BPPT, 2006). Jumlah ini terus mengalami peningkatan setidaknya 15 % setiap tahun. Akhir tahun 2007 ini dapat diperkirakan jumlah produksi minyak sawit nasional akan mencapai 11,5 juta ton per tahun. Anggaplah dari produksi minyak sawit Indonesia tersebut, setengahnya digunakan untuk pembuatan biodiesel maka dalam satu tahun Indonesia dapat menghasilkan biodiesel dengan jumlah yang sama yaitu 5,75 juta ton atau setara dengan 6.765 juta liter (massa jenis biodiesel sekitar 0,85 kg/L). Angka tersebut baru memperhitungkan setengah dari produksi minyak sawit. Bagaimana jika tidak hanya setengah produksi minyak sawit tetapi ¾ nya atau bahkan seluruhnya dikonversikan menjadi biodiesel?
Perkiraan tersebut belum memperhitungkan produksi biodiesel dari tumbuhan lain misalnya jarak pagar. Kelebihan tumbuhan jarak pagar adalah kemampuannya untuk tumbuh pada lahan kritis. Kondisi ini sangat menguntungkan sebab Indonesia memiliki lahan kritis cukup luas yang tidak tergarap hingga saat ini. BPS (2004) melaporkan bahwa lahan kritis Indonesia sekitar 22.115.140 Ha yang 36 persennya ada di dalam kawasan hutan. Apabila seluruh lahan tandus tersebut ditanami jarak pagar, maka ekuivalen dengan 63 juta liter solar per hari atau 22.365 juta liter. Dengan potensi sebesar itu, Indonesia tidak hanya mampu mencukupi kebutuhan dalam negerinya tetapi juga dapat mengambil peran sebagai negara pengekspor BBN.
Ekspor BBN merupakan sebuah langkah strategis yang harus ditempuh oleh Indonesia. Secara ekonomi, keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan dengan yang selama ini diperoleh Indonesia dari mengekspor minyak sawit. Peran biodiesel sebagai kebutuhan yang vital menyebabkan nilai ekonominya berada pada tingkat yang lebih tinggi dibanding minyak sawit. Nilai ekonomi biodiesel akan setara dengan BBM terutama solar yang saat ini telah mencapai Rp. 5.600,00 dan akan terus naik seiring meningkatnya harga minyak dunia. Padahal biaya yang akan dikeluarkan dari proses produksi biodiesel lebih kecil dari nilai tersebut. Harga bahan baku dapat diasumsikan sama dengan harga minyak sawit yaitu sekitar Rp. 3.600,00 per liter. Jika menggunakan minyak jarak maka harganya akan lebih murah. Sementara proses produksinya jika dihitung berdasarkan kebutuhan bahan kimia, suplai energi, pemeliharaan mesin, pengembalian modal usaha maka tidak akan lebih dari Rp. 900,00 per liter. Itu artinya dalam setiap satu liter biodiesel yang diekspor ke luar negeri, ada keuntungan sebesar Rp. 1000,00 Apabila setengah dari potensi biodiesel yang ada sekitar 15.000 juta liter diekspor maka diperoleh keuntungan total sebesar 15 triliun rupiah. Setiap rupiah tersebut adalah sumber penerimaan APBN yang dapat dipergunakan sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat. Dapat dibayangkan berapa orang miskin di Indonesia yang dapat diberi modal usaha atau pembangunan yang dapat dicapai dengan dana sebesar itu.
Keuntungan ini tidak mustahil diperoleh Indonesia karena banyak negara sahabat yang dapat dijadikan pasar potensial untuk ekspor BBN Indonesia. Negara-negara di benua biru misalnya. Negara-negara tersebut tidak memiliki bahan baku sedemikian melimpah seperti Indonesia. Artinya, ketika kandungan minyak bumi semakin menipis dan akhirnya habis, negara-negara tersebut tidak punya banyak pilihan. Mau tidak mau, mereka harus mengimpor BBN. Indonesia dapat menawarkan kerja sama saling menguntungkan dalam bentuk ekspor-impor. Indonesia mengekspor BBN untuk mensuplai kebutuhan sumber energi mereka. Sedangkan mereka memberikan keuntungan finansial kepada Indonesia.
Tidak hanya meningkatkan penerimaan APBN secara langsung, ekspor BBN juga akan menggairahkan industri-industri di Indonesia khususnya di bidang perkebunan. Ekspor akan mendorong peningkatan industri biodiesel dalam negeri. Sektor perkebunan maupun indutri terkait dalam hal ini akan meresponnya dengan melakukan percepatan produksi. Salah satu kebijakan yang akan ditempuh adalah ekstensifikasi sumber daya produksi. Salah satunya adalah penambahan jumlah tenaga kerja. Ekspor BBN menjadi solusi bagi permasalahan ekonomi Indonesia yaitu secara tidak langsung membuka lapangan pekerjaan.
Implikasi yang dirasakan dari ekspor BBN tidak hanya sebatas pada sektor perekonomian. Menjadi eksportir BBN, terutama biodiesel juga dapat meningkatkan harga diri dan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara. Bagaimana tidak? Indonesia akan memegang peranan sebagai penyedia sumber energi dunia. Berhentinya pasokan BBN dari Indonesia akan berdampak pada krisis energi secara global. Karena pengaruh yang sangat kuat itu, kepentingan Indonesia akan akan selalu didengar oleh masyarakat internasional sehingga eksistensi Indonesia pun akan semakin diakui.
Semua faktor cenderung mendukung Indonesia untuk memanfaatkan BBN sebagai sumber energi alternatif dalam negeri dan mengekspornya ke luar negeri. Pemerintah sepertinya juga mulai sadar akan hal tersebut. Buktinya, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan tentang penyediaan dan pemanfaatan BBN. Sayangnya, itu saja belum cukup. Diperlukan usaha optimal agar BBN akrab bagi segenap lapisan masyarakat. Paradigma lama masyarakat yang memandang bahwa bahan bakar hanya dapat berasal dari peninggalan fosil jutaan tahun yang lalu harus segera diganti dengan optimisme tinggi bahwa masih ada peluang besar di masa depan, yaitu Indonesia sebagai pengekspor BBN terbesar di dunia. Apabila Indonesia secara cerdas berani memanfaatkan peluang ini, kelak Indonesia akan menjadi negara yang mantap, mandiri dan diakui eksistensinya. Amin.
No comments:
Post a Comment